London, 11 Agustus 1958
Ketika rumor lebih
mengerikan dari sebuah penyakit, peradaban eropa nampak maju sekaligus mundur.
Kepraktisan menjadi salah satu kebiasaan para bangsawan inggris yang hanya
menginginkan harta dan kekuasaan. Pernikahan adalah sebuah bisnis yang terlalu
mudah untuk diatur dan diputuskan. Layaknya sebuah lelucon, hubungan
suami-istri hanyalah sebatas hitam di atas putih bak tiket yang mampu
membebaskanmu untuk mengatur teman tidurmu sesuka hati. Ya, pernikahan mampu
melakukan itu.
Mungkin kau bisa menolaknya, ketika dirimu memiliki kekuasaan
dan harta yang melimpah. Bagaimana jika sebaliknya? Tak ada kekuasaan maupun
harta, yang ada hanya kertas hutang yang menggunung. Di sinilah peran
ke-prak-tis-an dari sebuah pernikahan. Hutang dibayar dengan nyawa. Ah- mungkin
lebih tepatnya 'seseorang'. Bisa dibayangkan, bagaimana tradisi ini menggrogoti
martabat kebangsawanan yang selalu mereka sombongkan? Ribuan orang telah
menjadi korban 'pernikahan'. Sebuah kata “sakral” nyaris tabu. Apakah kau tetap
masih berminat untuk menikah setelah mengetahui semuanya? Tentu saja, jawabanku
dengan tegas, TIDAK.